BABEL | JERAT HUKUM NEWS
Dugaan praktik korupsi tata niaga solar subsidi mengguncang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jejaring distribusi bahan bakar bersubsidi yang seharusnya menyasar rakyat kecil, justru diduga dibajak oleh oknum-oknum yang bermain di balik perusahaan fiktif bernama *PT Makmur Jaya Abadi*. Minggu (20/7/2025).
Penelusuran yang dilakukan wartawan Jejaring Media KBO Babel mengungkap skema sistematis dan terselubung yang diduga melibatkan pemilik tiga SPBU sekaligus, serta potensi kerugian negara yang bisa mencapai miliaran rupiah.
Dalam praktiknya, solar subsidi disedot dari tiga titik, yakni SPBU Riau Silip, SPBN Tempilang, dan SPBN Mentok.
Ketiganya diketahui berada di bawah kepemilikan satu nama, *Subiatini*. Bahan bakar itu kemudian tidak langsung disalurkan ke masyarakat, tetapi dialihkan ke gudang penyimpanan tersembunyi untuk kemudian dikemas ulang dan dimuat ke dalam mobil tangki biru putih yang membawa nama PT Makmur Jaya Abadi.
“Nama PT itu hanya tempelan. Di lapangan, tidak ada kantor, tidak ada perizinan niaga, tidak ada izin angkut. Ini hanya kedok untuk mengelabui pengawas distribusi,” ujar salah satu narasumber terpercaya yang terlibat dalam investigasi ini. Ia meminta agar namanya tidak disebut karena alasan keselamatan.
Lebih jauh, sumber tersebut menyebutkan bahwa pengambilan solar dilakukan rutin dengan jumlah besar.
Solar bersubsidi ini kemudian dijual kembali ke sektor industri dengan harga keekonomian, berkisar Rp10.000 hingga Rp13.000 per liter, jauh di atas harga subsidi yang dipatok pemerintah sekitar Rp6.800 per liter.
Praktik inilah yang menyebabkan kelangkaan solar bersubsidi di sejumlah titik, termasuk antrean panjang nelayan dan pelaku usaha mikro.
“Kuota disedot untuk diputar jadi keuntungan pribadi. Rakyat cuma dapat sisa. Pemerintah dirugikan, masyarakat dikorbankan,” lanjutnya.
Lebih mencengangkan, PT Makmur Jaya Abadi disebut tidak terdaftar dalam sistem niaga migas nasional. Tidak memiliki izin pengangkutan, tidak punya izin penyimpanan, dan jelas tidak memiliki legalitas untuk menjual BBM, apalagi BBM bersubsidi. Namun nama perusahaan ini digunakan sebagai ‘branding’ di mobil tangki, seolah legal dan profesional.
“Ini murni kejahatan ekonomi. Skemanya jelas. Punya akses ke SPBU, punya kendaraan distribusi, punya gudang, tapi tidak punya legalitas. Ini menunjukkan keterlibatan orang kuat di balik layar,” kata seorang pejabat daerah yang juga meminta anonimitas.
Secara hukum, perbuatan ini berpotensi melanggar *Pasal 18 ayat (2) dan (3) Perpres No. 191 Tahun 2014* yang dengan tegas melarang masyarakat dan badan usaha melakukan penimbunan, penyimpanan, serta penggunaan BBM subsidi secara tidak sah. Selain itu, *Pasal 53 juncto Pasal 23 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas* mengancam sanksi pidana maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp50 miliar bagi setiap pihak yang menyimpan, mengangkut, dan memperniagakan BBM tanpa izin
Tak berhenti di situ, SPBU-SPBU yang memasok solar subsidi dalam jumlah besar kepada pihak yang tidak berwenang juga terancam jerat hukum sebagai *pembantu tindak pidana*, sesuai *Pasal 56 KUHP*, apabila terbukti bahwa penjualan dilakukan dengan sepengetahuan atau bahkan kesengajaan.
“Kami curiga SPBU-nya tahu. Karena volume pembelian besar dan dilakukan berulang. Kalau tidak ada kesepakatan, mana mungkin bisa lolos terus,” tegas narasumber investigasi lainnya dari lembaga swadaya masyarakat di Babel.
Sumber lain di lingkungan aparat penegak hukum menyebut bahwa pihaknya sedang melakukan pemetaan kasus dan pelacakan aset terkait praktik ini.
Namun, ia mengakui bahwa proses penindakan menghadapi tantangan karena keterlibatan pihak-pihak yang punya akses pada distribusi BBM dan kekuatan modal yang besar.
“Ini bukan cuma soal hukum, tapi juga soal keberanian. Banyak yang tahu tapi memilih diam,” katanya lirih.
Hingga berita ini dirilis, redaksi telah mengajukan permintaan klarifikasi kepada pihak PT Makmur Jaya Abadi, pemilik SPBU Subiatini, dan pejabat terkait di Pertamina Wilayah Babel. Namun belum ada satu pun yang memberikan tanggapan resmi.
Sementara itu, masyarakat di wilayah Riau Silip dan Tempilang mulai mengeluhkan sulitnya mendapatkan solar subsidi, terutama bagi para nelayan dan pemilik kendaraan angkutan barang.
Seorang nelayan, Junaidi (45), mengaku sejak bulan lalu harus antre hingga 8 jam untuk mendapat jatah solar subsidi.
“Kadang kami pulang tak bawa BBM. Sudah antre dari subuh, eh dibilang habis. Tapi malamnya saya lihat ada mobil tangki ambil banyak. Kami cuma bisa pasrah,” ujarnya.
Kondisi ini jelas menyalahi tujuan utama subsidi BBM, yaitu **menjaga keterjangkauan energi bagi masyarakat bawah**, terutama sektor transportasi, usaha kecil, dan nelayan. Ketika solar subsidi dikuasai dan dijual ulang untuk kepentingan industri, maka negara bukan hanya kehilangan uang, tapi juga gagal menunaikan keadilan energi.
Pakar hukum migas, Prof. Andri Hutagalung, menilai praktik ini sebagai bentuk “korupsi teknokratik” yang beroperasi dalam celah kebijakan dan lemahnya pengawasan.
“Pelakunya paham sistem distribusi, tahu celahnya. Modus seperti ini tidak bisa ditangani dengan penegakan hukum biasa. Perlu satgas gabungan dan audit menyeluruh dari pusat,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi daring beberapa waktu lalu.
Kini publik menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum di Bangka Belitung. Skandal ini tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Penindakan harus menyentuh semua pihak, mulai dari perusahaan fiktif, pemilik SPBU, pemodal, hingga oknum regulator jika terbukti lalai atau bermain mata.
“Jangan tunggu rakyat marah. Jangan tunggu solar habis di kampung baru bertindak,” pungkas salah satu narasumber investigatif dengan nada tegas.
(agus)